Jumat, 22 Juli 2011

AL-QUR’AN MUHKAM DAN MUTASYABIH

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

BENTUK-BENTUK AYAT MUTASYABIH DALAM AL-QUR’AN

Mutasyabih yang terdapat dalam Al-Qur’an ada dua macam.

Pertama:
Hakiki, yaitu apa yang tidak dapat diketahui dengan nalar manusia, seperti hakikat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Walau kita mengetahui makna dari sifat-sifat tersebut, namun kita tidak pernah tahu hakikat dan bentuknya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmuNya” [Thahaa : 110]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” [Al-An’am : 103]

Oleh karena itu ketika Imam Malik rahimahullah ditanya tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy” [Thahaa : 5]

Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala bersemayam ? Beliau menjawab : “Bersemayam menurut bahasa telah diketahui artinya, hakikatnya tidak diketahui, iman kepadanya hukumnya wajib dan mempertanyakannya adalah bid’ah”

Bentuk Mustasyabih yang ini tidak mungkin untuk dipertanyakan sebab tidak mungkin untuk bisa diketahui hakikatnya.

Kedua.
Relatif, yaitu ayat-ayat yang tersamar maknanya untuk sebagian orang tapi tidak bagi sebagian yang lain. Artinya dapat dipahami oleh orang-orang yang mendalam ilmunya saja.

Bentuk Mutasyabih yang ini boleh dipertanyakan tentang penjelasannya karena diketahui hakikatnya, karena tidak ada satu katapun dalam Al-Qur’an yang artinya tidak bisa diketahui oleh manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : (Al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” [Ali-Imran : 138]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : …Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” [An-Nahl : 89]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya” [Al-Qiyaamah : 18-19]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Hai manusia, sesungguhnya telah datang kapadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu, (Muhammad dengan mu’jizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamua cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an)” [An-Nisaa : 174]

Contoh-contoh untuk bentuk ini sangat banyak sekali, diantaranya.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : (Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikanNya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Asy-Syura : 11]

Ahli Ta’thil salah dalam memahaminya, mereka pahami, bahwa yang dimaksud adalah tidak ada sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka beranggapan, bahwa adanya sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharuskan keserupaan dengan makhluk, mereka menolak banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka juga menolak, bahwa kesamaan makna tidak mengharuskan adanya keserupaan.

Contoh lain :
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

“Artinya : Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan adzab yang besar baginya” [An-Nisaa : 93]

Golongan Wa’idiyah salah dalam memahaminya, mereka pahami bahwa seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka dia kekal di dalam neraka, dan hal ini dijadikan patokan bagi semua pelaku dosa besar, mereka menolak ayat-ayat yang menjelaskan bahwa dosa-dosa di bawah syririk berada di bawah kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Contoh yang lain.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi ? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh)? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” [Al-Hajj : 70]

Golongan Jabariyah salah dalam memahaminya, mereka memahami, bahwa seorang hamba melakukan amal perbuatan karena terpaksa, dia tidak memiliki keinginan dan kemampuan apapun, mereka menolak banyak ayat yang menjelaskan, bahwa seorang hamba juga memiliki keingainan dan kemampuan dan bahwa amal perbuatan seorang hamba terbagi menjadi dua : ikhtiyaari (berdasarkan keinginan) dan ghoiru ikhtiyaari (paksaan).

Sementara orang-orang yang mendalam ilmunya atau para ulama adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang benar, mereka tahu bagaimana mengkorelakasikan ayat-ayat Mutasyabihah ini sehingga maknanya sesuai dengan ayat-ayat yang lain, akhirnya Al-Qur’an seluruhnya menjadi Muhkam tidak ada yang tersamar sama sekali.

HIKMAH DARI PEMBAGIAN AL-QUR’AN MENJADI MUHKAM DAN MUTASYABIH

Kalau seandainya Al-Qur’an seluruhnya Muhkam, maka akan hilanglah hikmah dari ujian pembenaran dan amal perbuatan, karena maknanya sangat jelas dan tidak ada kesempatan untuk menyelewengkannya atau berpegang kepada ayat Mutasyabih untuk menebarkan fitnah dan merubahnya. Dan kalau seandainya Al-Qur’an seluruhnya adalah Mutasyabih, maka akan lenyaplah posisi Al-Qur’an sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia serta tidak mungkin untuk melakukan amal ibadah dengannya dan membangun aqidah yang benar diatasnya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmahNya menjadikan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an Muhkam agar bisa dijadikan rujukan ketika terdapat makna yang tersamar, dan sebagian lagi Mutasyabih sebagai ujian bagi para hamba agar terlihat jelas orang yang benar-benar beriman dari orang yang dihatinya terdapat penyakit, karena orang yang benar-benar beriman akan mengakui, bahwa Al-Qur’an seluruhnya berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan apa saja yang berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah benar, tidak mungkin ada kebathilan atau kontradiksi sedikitpun padanya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” [Fushilat : 42]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” [An-Nisa : 82]

Sedangkan orang yang dalam hatinya terdapat penyakit, maka dia akan menjadikan ayat-ayat Mutasyabih sebagai sarana untuk merubah-rubah ayat-ayat Muhkam dan mengikuti hawa nafsu dalam menebarkan keragu-raguan pada berita-berita Al-Qur’an serta angkuh dan sombong dari hukum-hukum Al-Qur’an. Oleh karena itu anda selalu mendapati bahwa orang-orang yang salah jalan dalam masalah aqidah dan ibadah selalu mempergunakan ayat-ayat Mutasyabih sebagai dasar penyelewengan mereka.


[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy]

PENULISAN AL-QUR’AN DAN PENGUMPULANYA

Oleh: Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.

Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak

Dalam kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.

Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.

Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.

Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.

Dalam kitab Shahih Bukhari [3] disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.

Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.

Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud [4] dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.

Mush’ab Ibn Sa’ad [5] mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakah mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.

Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.

Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.

Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.

Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan langit, Tuhan bumi dan Tuhan sekalian alam.

[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy]
__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor 3064
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits nomor 4978
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid : 2 halaman 954, dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid 3, halaman 229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Mashaahif halaman 22
[5]. Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12
***************************************************************

Minggu, 05 Juni 2011

Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam.

Kedudukan Hadits 
Hadits sebagai sumber hukum syariah, peran utama hadits dalam revitalisasi syariah adalah menjadi sumber hukum syariah yang kedua setelah al-Qur’an. Dalam konteks ini perlu ditegaskan dua hal:
          Pertama, kehujjahan hadits sebagai sumber hukum syariah. Yang dimaksud dengan kehujjahan al-hadits (hujjiyah al-hadits), adalah keadaan hadits yang wajib dijadikan hujjah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan al-Qur’an, dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Menurut wahbah Az-Zuhaili, dalam kitabnya ushul al-Fiqh al-Islami, orang yang pertama kali berpegang dalil-dalil ini, diluar ijma’. adalah Imam Asy-Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-umm. Dalil-dalil tersebut ada yang menunjukkan bahwa hadits adalah wahyu sebagaimana al-Qur’an, dan ada yang menunjukkan wajibnya mengikuti hadits atau As-Sunnah.
Kedua, kedudukan (al-manzilah) dan fungsi hadits terhadap al-Qur’an. Pada prinsipnya, fungsi hadits adalah sebagai penjelasan (al-bayyan) dari al-Qur’an. Itulah yang dimaksud dengan ungkapan As-Sunnah qadhiyah ‘ala Al-Kitab, yang terkenal di kalangan ulama seperti disebut Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat juz IV/4. ungkapan itu berarti As-Sunnah/hadits itu menjadi pemutus atau penentu makna al-Qur’an. Sebab suatu ayat al-Qur’an dapat mengandung dua kemungkinan makna atau lebih, maka hadits-lah yang kemudian menentukan satu makna di antara sekian makna yang ada. Fungsi hadits sebagai penjelasan al-Qur’an didasarkan pada firman Allah swt (artinya):
‘Dan Kami turunkan kepadamu [Muhammad] al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl: 44).
            Tiada syari’ah tanpa hadits sebagai sumber hukum syari’ah ini sangat strategis bagi upaya revitalisasi syari’ah. Karena sebagian besar hukum-hukum syariah bersumber pada hadits. Terlebih lagi, hadits banyak menjadi dalil bagi berbagai hukum yang berkaitan dengan kehidupan bernegara, misalnya pengaturan hubungan penguasa dan rakyat, hubungan negara Islam dengan negara lain, struktur pemerintahan, pengangkatan para gubernur (wali) dan hakim (qadhi), dan sebagainya. Dan juga berpegang pada hadits atau sunnah rasul saw. terhadap hal-hal yang tidak dijelaskan al-Qur’an sebagai landasan syari’ah.
            Karena kedudukannya sebagai dasar Islam yang kedua sesudah kitab suci al-Qur’an, maka tidaklah mengherankan kalau Hadits Nabi mendapat perhatian yang paling besar dikalangan kaum muslimin. Sungguh pun ada larangan Nabi supaya jangan menuliskan selain dari al-Qur’an, sebagian nanti akan kita terangkan, untuk menjaga jangan sampai dicampur adukkan dengan kitab suci al-Qur’an itu, tetapi ada saatnya beliau memberi izin kepada beberapa sahabat yang cukup berhati-hati untuk mencatatkan hadits-hadits itu.
            Dalam kasus al-Qur’an, kita tahu bahwa tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dan penulisannya. Jadi, tidak ada keraguan akan otentisitas
al-Qur’an, lantaran Nabi sudah menunjuk para pencatatnya sejak turunnya wahyu pertama yang ditugasi untuk menghimpun dan menuliskannya. Tetapi praktek ini tidak diikuti dalam kasus hadits, yang mendapat perlakuan berbeda.
            Pentingnya hadits dan perananya dalam berbagai masalah politik dan sosial telah menyebabkan berbagai kelompok memperlihatkan kepekaan tertentu terhadapnya. Kepekaan ini mengakibatkan tertundanya usaha penulisan hadits, meskipun ada perintah Nabi untuk melakukan penulisan dan penyebarluasan hadits. Sayangnya, penundaan ini menciptakan kerumitan bagi generasi berikutnya dalam melakukan penilaian hadits.
            Sudah banyak komentar mengenai Hadits, baik dari kalangan umat Islam maupun non Islam, baik yang membela maupun yang menyerang dan ingin menghancurkannya. Semua itu ternyata semakin menambah semaraknya kajian dan minat terhadap bidang hadits ini.
            Yang jelas, terlepas dari semua itu, para ulama’ dari berbagai golongan dan aliran, hampir tidak ada perbedaan dalam memandang Hadits-hadits Nabi sebagai dasar dalam Syari’at Islam. Mereka menjadikan Hadits sebagai pedoman dalam melaksanakan aktivitas di dunia ini, baik yang berkenaan  dengan aspek ibadah maupun mu’amalah dan akhlak. Karena Hadits yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Nabi saw.itu secara rinci telah menggariskan suatu manhaj bagi kehidupan umat Islam, baik secara individu, keluarga, masyarakat maupun negara.
            Imam asy-Syafi’i di dalam kitabnya ar-Risalah mengemukakan pendapatnya, yang juga dinukil kembali oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya al-madkhal, “Sesungguhnya Allah swt. telah menerapkan kedudukan Rasulullah saw.didalam agama dan menentukan juga kitab sucinya. Allah swt.menjelaskan pula kedudukan Rasulullah saw. itu terhadap agaman islam, sehingga diketahui kewajiban menaatinya dan haram bermaksiat kepadanya. Demikian juga allah swt. telah menjelaskan dengan karunia-Nya, dengan mengiringi iman kepada Rasul-Nya dengan iman kepada-Nya”. Firman Allah swt (Artinya),
“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan janganlah kamu mengatakan, ‘Tuhan itu tiga’, berhentilah (dari ucapan itu), (itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak”. (Q.S. an-Nisa’: 171).
            Hadits adalah salah satu wahyu tuhan yang disampaikan Allah kepada Nabi-Nya. Hadits itu merupakan salah satu sendi atau pokok dari Syari’at Islam. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa hadits ini merupakan salah satu pokok dari Syari’at Islam. Oleh karenanya hadits itu wajib diikuti sebagiamana mengikuti al-Qur’an. Demikian pula Allah telah memerintahkan kita untuk mentaati Rasul sebagaiman mentaati Allah sendiri, baik terhadap perintah-perintahnya maupun larangannya (Artinya).
 “Katakanlah olehmu Muhammad: Kalau kamu sekalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kamu serta mengampuni dosa-dosamu”.
            Dari ayat-ayat tersebut diatas, jelas bahwa Hadits-hadits Nabi itu kedudukannya dalam Syariat Islam sama dengan al-Qur’an, artinya wajib diikuti dan diamalkan sebagaimana al-Qur’an. Dan  merupakan hukum kedua setelah al-Qur’an, sebagai penjelas al-Qur’an yang menjadi hukum utamanya.
            Sebagai sumber hukum Islam, hadits memegang peranan penting sebagai penjelas atas apa yang ada didalam al-Qur’an. Umat Islam tidak akan pernah dapat menjalankan ketentuan hukum dan cara ibadah tanpa melihat keterangan atau praktek yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. melalui hadits-hadits-nya. Hadits sebagaimana kita ketahui sebagai penjelasan al-Qur’an, karena hukum dan kewajiban yang terdapat dalam al-Qur’an hanya bersifat umum dan global, tidak rinci.
Rasul dalam menyampaikan risalah Allah kepada umatnya telah diberikan Allah sifat-sifat yang luhur dan ilmu yang tinggi, sehingga seluruh tingkah laku dan ucapannya sesuai dengan kehendak Allah, tidak dengan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah swt (Artinya).
 “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapanya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (an-Najm: 3-4)
            Kehujjahannya berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, didalam surat an-Nahl dijelaskan bahwa Rasulullah saw. diberi otoritas oleh Allah subhanahuwata’ala sebagai mubayyin ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Qur’an (Artinya).
 “Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka memikirkan”. (an-Nahl: 44)
            Kehujjahan sunnah berdasarkan Hadits Nabi, orang-orang Islam yang kuat imannya tidak akan meragukan terhadap kehujjahan sunnah, dan orang yang menerima al-Qur’an sebagai hujjah, secara otomatis menerima sunnah sebagi hujjah dalam hukum-hukum Islam. Karena al-Qur’an dan hadits tidak bisa dipisahkan. Barang siapa yang memisahkan al-Qur’an dengan hadits berarti dia memisahkan Allah dan Rasul-Nya. Karena Allah swt. dalam al-Qur’an telah mewajibkan semua orang untuk beriman kepada Rasul-Nya, mengikuti perilakunya, menaati semua perintahnya dan meniggalkan semua larangannya.
            Hadits perintah Rasulullah untuk menyampaikan hadits-haditsnya kepada orang lain.
 “Ya Allah saksikanlah, maka hendaknya orang yang hadir menyapaikan kepada orang yang tidak hadir, karena banyak orang yang tidak mendengar langsung lebih pandai dari orang yang mendengar langsung”. (H.R. Muslim)
           
Golongan Yang Menolak Hadits Sebagai Sumber Hukum
            Menurut Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya “Al-Hadits Wal Muhadditsun”, halaman 21 s/d 37, golongan yang menolak Hadits sebagai dasar pokok agama, terbagi menjadi dua golongan:
  1. Golongan yang menolak Hadits seluruhnya.
  2. Golongan yang menolak Hadits Ahad saja.
Imam Syafi’I dalam kitabnya “Al-Um” juz VII halaman 250 s/d 367, menerangkan golongan yang menolak Hadits dengan panjang lebar, disertai dengan alasan-alasan mereka dan kemudian Imam Syafi’i membantah pendapat mereka dengan alasan-alasan yang kuat, serta menempatkan persoalannya pada proporsi yang sebenarnya.
Beliau membagi golongan yang menentang Hadits tersebut menjadi tiga golongan:
  1. Golongan yang menolak Hadits seluruhnya, baik yang Mutawatir maupun yang ahad.
  2. Golongan yang menolak Hadits, kecuali jika Hadits tersebut ada persamaanya dengan al-Qur’an.
  3. Golongan yang menolak Hadits Ahad.
Selain dalam kitab Al-Um, Imam Syafi’i juga menyinggung persoalan hadits ini di dalam kitabnya “Ar-Risalah” dengan panjang lebar. Hanya bedanya, jika di dalam kitabnya ar-Risalah, Imam Syafi’i, menerangkan dalil-dalil untuk membela Sunnah terhadap ketiga golongan tersebut, maka di dalam kitabnya Al-Umm beliau menerangkan masalah tersebut dengan metode tanya jawab/mujadalah/munadharah (berdebat/berdiskusi) antara beliau dengan ketiga golongan yang menolak Sunnah sebagai Hujjah.
Golongan yang menolak Hadits secara keseluruhan, alasan yang mereka pergunakan dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Al-Qur’an itu adalah kitab suci yang berbahasa Arab, yang sudah tentu menggunakan oleh bangsa Arab. Sehingga kalau seseorang telah mengenal style, uslub bahasa Arab, ia akan mampu memahami al-Qur’an tanpa memerlukan penjelasan Sunnah dan penjelasan lainnya.
  2. Al-Qur’an sendiri telah menyatakan bahwa al-Qur’an itu telah mencakup segala hal yang dibutuhkan manusia mengenai segala aspek kehidupannya. Tidak ada sesuatu pun yang tidak dicakup oleh Al-Qur’an atau dilalaikan. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 89, yang artinya:
 “Kami turunkan kepadamu al-Qur’an untuk menerangkan segala sesuatu, untuk petunjuk dan rahmat serta berita gembira bagi orang-orang Islam”.
c.       Berdasarkan keterangan yang menurut mereka berasal dari Nabi sendiri, yaitu:
 “Apa-apa yang sampai kepadamu dari saya, maka cocokkanlah dengan kitab Allah, yakni al-Qur’an. Jika sesuai dengan al-Qur’an, maka akulah benar telah mengatakannya. Dan jika ia berbeda dengan al-Qur’an, maka aku tidak mengatakannya. Bagaimanakah aku dapat berbeda dengan al-Qur’an, sedangkan dengan al-Qur’an itu aku mendapat hidayah dari Tuhan”.
            Bantahan  Imam Syafi’i terhadap pendapat golongan pertama ini, adalah sebagai berikut:
  1. Menurut kenyataan bahwa umat Islam di dalam mengamalkan firman Tuhan  dalam al-Qura’an tidak lepas dari keterangan atau penjelasan dari hadits. Sebab banyak firman Allah yang bersifat global atau mujmal saja, dan sudah barang tentu memerlukan penjelasan untuk itu, Nabilah yang diberi tugas serta wewenang untuk menjelaskannya. Cobalah perhatika Surat an-Nahl ayat 44, sebagai berikut:
 “Kami turunkan kepdamu peringatan (al-Qur’an) untuk kamu jelaskan kepada manusia apa-apa yang telah diturunkan kepada mereka”.
  1. Yang dimaksud dengan ayat 89 dari surat an-Nahl tersebut diatas, ialah bahwa Tuhan telah menjelaskan segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia di dunia ini, di dalam al-Qur’an secara global tidak terperinci. Penjelasan lebih lanjut atau perinciannya diserahkan kepada Nabi. Sedangkan yang dimaksud dalam surat al-An’am ayat 38, ialah bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, terutama mengenai umur seseorang dan rezekinya itu sudah termaktub dan sudah ditetukan di dalam: al-Lauh al-Mahfudh.
  2. Bahwa yang dianggap Hadits oleh mereka, menurut penelitian para ahli Hadits, ternyata bukan Hadits Nabi, melainkan hanya Hadits yang dibuat-buat oleh golongan Zindiq. Atau Hadits palsu belaka.
al-Qur’an tidak akan berubah mengikuti perubahan waktu dan tidak akan mengalami evolusi karena perbedaan lingkungan dan adat istiadat manusia. Semua ini memungkinkan al-Qur’an mamapu beradaptasi dengan perkembangan waktu dan tetap sesuai untuk semua umat manusia dan sepanjang zaman, bagaimanapun lingkungan dan adat istiadat itu. Di dalam al-Qur’an akan diketemukan sesuatu yang menjamin terpenuhinya kebutuhan pembentukan hukum syara’ dalam rangka kebangkitan dan mencapai kemajuan.
Sebagai hukum yang terdapat dalam hadits sama dengan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Hadits menafsirkan yang mubham, memerinci yang mujmal, membatasi yang mutlak, mengkhususkan yang umum, serta menjelaskan hukum-hukum (al-Qur’an) dan sasarannya. Hadits juga mengemukakan hukum-hukum yang belum ditegaskan oleh al-Qur’an. Dalam kenyataannya, as-sunnah/hadits merupakan praktik nyata dari apa yang terdapat di dalam al-Qur’an, suatu praktik yang muncul dalam bentuk yang berbeda-beda. Ada kalanya ia merupakan perbuatan Rasulullah saw, ada kalanya merupakan ucapan beliau pada suatu kesempatan, dan ada kalanya merupakan perbuatan atau ucapan para sahabat beliau. Beliau melihat perbuatan atau mendengar ucapan itu, kemudian beliau mengakui kebenarannya, tidak menyalahkan dan mengingkarinya. Bahkan, beliau berdiam diri atau menganggapnya sebagai sesuatu yang baik. Maka, ini merupakan taqrir ‘izin’ dari beliau.
Meragukan Hadits, keragu-raguan yang menyertai suatu berita tidak hanya yang berkaitan dengan hal-hal gaib, tetapi juga dalam hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas keagamaan yang harus dikerjakan. Adanya keraguan atau kebingunan yang dialami oleh seorang perawi tidaklah terlalu merugikan Islam. Kitab Allah ma’shum (terjaga dari kekeliruan, penambahan atau pengurangan). Demikian pula sunnah Nabi saw, pada umumnya, tetap utuh dan sehat. Kekeliruan seorang perawi sebenarnya adalah wajar dan tidak mengherankan. Tetapi, yang mengherankan adalah adanya usaha pembenaran terhadap kekeliruan ini, yang kemudian ditambah lagi dengan pembelaan secara fanatik terhadapnya. Sikap seperti itu tidak pernah ada pada diri para imam dan tidak pula menjadi kebiasaan para tokoh salaf maupun khalf.

Referensi:
-M. Shiddiq Al-Jawi, 2005. Al-Insan (Jurnal Kajian Islam) Hadits Nabi Otentisitas dan Upaya Destruksinya, Depok, Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan.
-Zainal Abidin Ahmad, 1975. Imam Bukhari pemuncak ilmu hadits, Jakarta, Bulan Bintang.
-Muhibbin, 1996. Hadis-hadis Politik, Yogyakrta, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Lesiska’
-Jalaluddin As-suyuthy, 1997. Argumentasi As-Sunnah kontra atas penyimpangan sumber hukum orisinal; terj. Saifullah, Surabaya, risalah Gusti.
-Masjfuk Zuhdi, 1993.Pengantar Ilmu Hadits, Surabaya, PT Bina Ilmu.
-Muhammad Ajaj al Khatib, 1999. Hadits Nabi Sebelum di Bukukan, Beirut, Darul Fikr.